18.6.12

Pamrih

Sore yang cerah dan berangin di musim kemarau.  Seorang pria dengan sepeda motor tuanya melintas di tengah jalan yang sepi.  Di depannya dia melihat seorang wanita paruh baya di tepi jalan, berdiri di samping mobilnya, sebuah VW new Beetle 1.6 automatic.  Sepertinya wanita itu sedang kebingungan dan membutuhkan bantuan.

Kemudian pria itu menghampiri, dari dandanannya tampak jelas bahwa wanita ini bukanlah dari kalangan menengah.  Sebuah Christian Dior melingkar di pergelangan kirinya, sementara sebuah cincin dengan tiga butir permata menghiasi jari tangan kanannya yang erat menggenggam iPhone 4S, sepertinya kehabisan baterai.

"Selamat sore bu, ada yang bisa saya bantu?" Sapa pria itu

Alih-alih menjawab, si wanita ini malah memperhatikan pria di depannya.  Tampangnya lusuh, jaket kumal, sepintas aja bisa dilihat kalau ikat pinggang dan sepatu yang dikenakannya adalah produk KW 2, walaupun merek Crocodile terlihat jelas di situ.  Dari penampilannya dia bisa melihat kalau pria ini orang susah, bisa jadi pengangguran yang sedang cari kerja, atau setinggi-tingginya paling-paling juga karyawan outsourcing.

"Orang ini pasti ada maunya, jangan-jangan dia pura2 mau menolong pedahal mau merampok!" batinnya  menggerutu, galau, risau.

"Bu?" kembali si pria menyapa, ramah.

"Oh, emm.. anu, ban mobil saya kempes, saya nggak bisa gantinya, ini saya lagi tunggu sopir saya, sudah saya telpon" jawabnya seraya menyembunyikan handphone-nya yang mati, khawatir dustanya ketahuan.

"Oh, biar sini saya bantu, sudah sore begini.  Disini jarang ada yang lewat, nanti keburu malam malah ada apa-apa lagi."

"Nggak apa-apa kok.. nggak usah.. biar sopir saya saja."

"Ya sambil menunggu sopir ibu datang, biar saya bantu ganti bannya."

Akhirnya si wanita ini kehabisan alasan,
"Baiklah.." jawabnya seraya membuka bagasi belakang dan membiarkan pria itu mengambil kunci roda dan dongkrak.

"Ibu tunggu di dalam saja, di luar sini dingin" ujar si pria.

"Oke, nggak apa-apa ya saya tinggal" Jawabnya.  Memang itulah yang dia inginkan, segera dia masuk dan mengunci mobilnya dari dalam.

Dengan cekatan pria itu mulai memasang dongkrak dan mengganti ban mobilnya.  Sedikit kesusahan ketika menaikkan ban yang kempes ke tempatnya dengan badannya yang kurus itu.  Setelah semuanya selesai dan mencuci tangannya dari botol air mineral yang terjepit di sepeda motornya, si pria menghampiri jendela mobil dengan maksud berpamitan.

"Sudah selesai Bu, sekarang ibu masih mau mengunggu atau mau melanjutkan perjalanan? Kalau mau menunggu biar saya temani disini."

Dengan sedikit dongkol atas alasan palsu tentang sopirnya tadi, sang wanita menjawab "Oh, sudah terima kasih.  Aku lanjut saja deh, nanti biar sopirku aku telpon biar nggak usah kesini, tadi dia bilang kena macet di kota.  Jadi berapa saya harus bayar?"

"Oh, nggak usah bu, saya hanya bermaksud menolong.."

Si wanita tertegun, sangkaan buruk yang tadi datang bertubi-tubi di kesan pertama, kini berubah menjadi penyesalan.

"Ayolah, ini ambillah.." sambil menyodorkan selembar uang ratusan ribu.

"Maaf Bu, betul, dari awal niat saya hanya menolong, tidak lebih.  Mari Bu.. saya duluan.." ujarnya sambil berlalu menuju motornya.

Setelah empat-lima kali engkol, motornya mengeluarkan asap dari pembakaran oli mesin sebagai efek akibat bocornya piston motor 4-tak tuanya ini, kemudian berlalu sambil membunyikan klakson sembernya sekali, "Mari Bu.."

"Tunggu....!"  Jerit si wanita tadi.

Sang pria berusaha menghentikan laju sepeda motornya dengan susah payah karena kanvas rem yg sudah kadaluarsa, cengkramannya tidak mampu lagi menahan putaran roda sepeda motornya.

"Ada masalah lagi Bu?" tanyanya ramah.

Si wanita turun dari mobilnya, lalu menghampiri "Nama kamu siapa?"

"Wanto Bu, Siswantoro, kenapa ya Bu?"

Akhirnya si wanita menyadari, tanpa bantuan orang ini, mungkin saat ini dia masih sendirian bersama mobilnya yang kempes dan cuaca mulai gelap, sementara dari tadi tidak ada satu kendaraan pun yang lewat di tempat ini.  Jika tak ada pria ini, entah seperti apa nasibnya nanti.

"Berapa yang kamu minta?"

"Nggak Bu, terima kasih banyak.."

"Ayolah, dik Wanto, berapapun akan saya bayar.. berapapun.. sebutkan saja."

"Maaf Bu, bukan saya menolak rezeki, apalagi bermakasud sombong dan meremehkan ibu.. apa yang saya lakukan bukan untuk mencari pamrih.."  si pria tetap bersikeras, yang baru saja dia kerjakan tidaklah seberapa.  Mengganti ban dan menolong orang yang kesusahan, bukanlah mata pencahariannya.

"Jadi, bagaimana saya bisa membalasmu? Saya nggak biasa dan nggak bisa punya hutang, apalagi sama orang asing.  Kamu tinggal dimana?"

"Tidak perlu Bu.  Begini saja, bila suatu saat nanti ibu melihat orang lain membutuhkan pertolongan, saya ingin Ibu mengingat saya, dan berbuat sama seperti saya.  Itu saja Bu.  Mari Bu, saya permisi dulu.."

"Tapi,.." Sebelum si wanita ini dapat melanjutkan kata-katanya, sang pria sudah itu berlalu, membawa serta asap dan bunyi ribut knalpot motor tuanya.

Si wanita terpana untuk beberapa saat, hingga akhirnya tersadar dan kembali menghidupkan mobilnya dan bergegas melanjutkan perjalanannya.

Sepanjang perjalanan, kata-kata terakhir si Wanto, sang pria penolong, terus terngiang dan menyadarkannya.  Betapa selama ini dia selalu mengukur segala sesuatu dengan uang, betapa dia selalu mengharapkan pamrih dari apa yang dia kerjakan, dan menilai semua orang pun sama seperti dirinya, mengerjakan sesuatu demi imbalan, demi uang, karena itulah bisnis, nothing is free in this world.

Bunyi alarm dari fuel-indikator mobilnya menyadarkan lamunan sang wanita, baru dia sadari kalau isi tanki bbm-nya akan habis tidak lama lagi.

"Oh.. tidak.." ujarnya, kembali risau, galau.

Namun risaunya sirna setelah kurang lebih lima ratus meter di depannya dia menemukan pom bensin.  Seorang wanita bergegas menghampiri saat mobilnya masuk ke area pom bensin.

"Ada Pertamax?"

"Premium bu, nggak ada Pertamax."

"Waduh, yang ada Pertamax dimana ya?"

"Kira-kira 30km dari sini bu, ke arah sana" ambil menjunjuk ke arah barat dengan jarinya yang tertutup sarung tangan putih.

"Waduh, bensin saya nggak nyampe kalau 30 kilo, ya sudah, isi premium saja" ujarnya.

"Berapa liter Bu?"

"10 liter saja, yang penting bisa sampai ke pom bensin depan, nanti aku isi lagi disana, aku cari Pertamax."

"Baik bu, dari nol ya.."

Setelah selesai mengisi dan membayar dengan uang pas, dia kembali melanjutkan perjalanannya, namun perutnya yang kosong memaksanya melihat ke sekitar dan akhirnya menemukan sebuah kedai kecil tak jauh dari pom bensin itu, lalu segera mengarahkan mobilnya dan bergegas turun memasuki kedai itu.

Segera matanya menyapu seluruh isi kedai, "Cukup rapi, tapi nggak ada satupun makanan yang mengundang selera" keluhnya dalam hati.  Niatnya untuk mengisi perut langsung diurungkannya.

"Silakan duduk bu, silakan.." sambut seorang wanita muda, ramah.

"Nggak, saya cuma cari minuman dingin aja, ada Miz***?" tanyanya sambil menyebutkan sebuah merk minuman.

"Ada bu, dingin ya? sebentar saya ambilkan, silakan duduk dulu bu.." jawab si pelayan, tetap konsisten dengan keramahannya meskipun calon pelanggan ini ternyata sama sekali tidak berniat untuk membantu meningkatkan omzet jualan makanannya hari itu.

Wanita itu memperhatikan si pelayan yang baru saja berlalu, umurnya mungkin sekitar 26-27 tahun, berambut lurus sebahu yang diikatnya dengan sebuah karet gelang.  Wajahnya biasa saja, namun keramahan pelayanannya yang memberi nilai lebih pada penampilannya.  Keramahan tanpa dibuat-buat, tidak berlebihan seperti keramahan seorang pramusaji di fast-food ayam goreng yang selalu menawarkan CD album terbaru pada setiap pelanggan.

Namun yang paling menarik perhatian adalah perutnya yang besar.  Ya, dia sedang hamil tua, mungkin sekitar delapan atau bahkan sembilan bulan.  Walaupun garis mukanya tak bisa menutupi kelelahannya sebagai wanita yang sedang hamil tua, namun hal itu sama sekali tidak menghalangi aura keramahannya, benar-benar luar biasa.  Sebagai seorang wanita yang juga pernah mengalami masa-masa kehamilan seperti itu, dia tahu persis bagaimana rasanya.

"Silakan bu, ini.."
Sang pelayan menyodorkan sebotol minuman dingin beserta sebuah handuk basah yang hangat.

"Ibu terlihat lelah, habis dari perjalanan jauh ya Bu.  Ini saya bawakan handuk hangat."

"Oh, terima kasih, lelaki atau perempuan? berapa bulan?" jawabnya seraya mengambil handuk, mengusap mukanya sambil mengarahkan pandangannya pada perut si pelayan.

"Sepertinya lelaki bu, menurut hasil pemeriksaan terakhir, ini udah masuk sembilan."

"Nggak istirahat saja? kan capek.."

"Ndak kok bu, sayang kalo sampai tutup, alhamdulillah anaknya juga nggak rewel.." jawab si pelayan sambil memegang perutnya sendiri.

Melihat kondisi kedai yang sepi serta jumlah menu yang disajikan, tanpa dijelaskan pun si wanita sudah memahami dan tidak melanjutkan topik pembicaraannya.


"Jadi berapa?"

"Delapan ribu saja Bu."

"Ini mbak, maaf nggak ada uang kecil." katanya sambil menyodorkan uang seratus ribuan.

"Waduh, kalo begitu tunggu sebentar, saya ke pom sebelah tukar uang dulu ya Bu"

"Ya, nggak apa-apa mbak.  Hati-hati jalannya."

Dengan kondisi hamil tua seperti itu, cukup lama bagi si pelayan untuk mencapai pom bensin yang hanya berjarak dua puluh meter dari kedainya.  Si petugas pom yang tentu sudah mengenalnya dengan baik tanpa basa basi langsung membarter selembar uang itu dengan beberapa pecahan sepuluh dan dua ribuan.  Tanpa dipotong komisi.

Kurang dari sepuluh menit kemudian si pelayan kembali ke kedainya dan mendapatkan wanita tadi sudah tidak lagi di tempatnya.  Namun bukan itu yang membuat kakinya lemas hampir tak berdaya.  Didapatinya sebuah amplop putih yang diselipkan di bawah piring handuk, bertuliskan beberapa baris kalimat yang ditujukan untuknya;

"Aku tahu kamu pasti sedang membutuhkannya.  
Jangan kau anggap ini sebagai beban, apalagi hutang.
Aku pernah ditolong oleh seorang asing, 
dan dia yang mendorongku untuk berbuat seperti ini kepadamu.
Jika kamu memang ingin membayarnya, 
lakukanlah hal yang sama kepada orang lain"

Perlahan dia buka amplop tak bersegel itu, dan didapatinya sepuluh lembar uang ratusan ribu.  Dia nyaris jatuh terduduk jika tak segera memegang kursi dan menenangkan diri.  Duduk termenung dengan airmata berlinang, dari bibirnya dengan lirih meluncur sederet pujian kepada Tuhannya.

Malam itu dia tutup seperti biasa, sekitar jam delapan malam, dan langsung berjalan bergegas menuju rumahnya yang berjarak setengah kilometer dari kedainya.  Sudah hampir jam sembilan malam ketika dia sampai di rumahnya, dan mendapati suaminya tertidur di bale-bale teras, tanpa bantal.

"Mas, bangun mas, ayo pindah ke dalam.."
"Oh, sudah pulang kamu dik, maaf aku ketiduran.. pulang sama siapa?"
"Nggak apa-apa mas, sampeyan kan capek.  Tadi non Erni kebetulan lewat depan kedai." ujarnya. 
"Oh.. syukurlah, aku kira kamu jalan kaki gara-gara aku ndak jemput."
"Nggak apa-apa kok mas" dia menjawab, tanpa harus menceritakan hal sebenarnya.  Sedapat mungkin dia menjaga perasaan suaminya, tanpa harus menyertakan dusta didalamnya.

Suaminya  mendahului masuk dan langsung melanjutkan episode tidurnya yang sempat terpotong, mungkin dengan harapan agar mimpi indahnya pun bisa bersambung tanpa jeda iklan.

Setelah mengunci pintu, mematikan lampu, dan mendapati suaminya sudah kembali terlelap, dia tahu bahwa suaminya sangatlah lelah, semenjak pabrik tempatnya bekerja bangkrut dan dia tidak mendapatkan pesangon, sang suami pontang-panting bekerja serabutan demi untuk biaya persalinannya yang semakin dekat.

Sambil merebahkan diri di samping suaminya, dia mencium keningnya dengan lembut, dan berbisik lirih, sangat lirih..

"Tidurlah sayang, semuanya akan baik-baik saja.  Aku sayang kamu, Mas Siswantoro..."

**end**

Bandar lampung, 18.06.2012
inspired by "What Goes Around, Comes Around", author unknown.

1 comment:

rusi.wa said...

feel free to spam :)
lol.